isnis.com, JAKARTA-- Mantan Ketua Ikatan Alumni Fakultas Hukum
Indonesia (Iluni) UI Mayjen TNI Purnawirawan Hariadi Darmawan mengaku kecewa
terhadap Wiranto terkait peristiwa kerusuhan 1998.
Hariadi
yang saat itu menjabat sebagai Staf Khusus Menhan mengatakan sebagai Panglima
ABRI (Pangab), Wiranto tidak mengemban tugas untuk mengambil tindakan
pengamanan atas kerusuhan alias melakukan pembiaran.
Waktu
itu, Hariadi menghadap Wiranto untuk meminta tindakan bahwa keadaan sudah
darurat atau siaga satu. Dengan demikian pimpinan keamanan itu harus ditangani
oleh satu komando, yakni Wiranto.
Presiden
Soeharto juga, kata Hariadi, sudah mewantikan agar Pangab mengambil tindakan.
Tapi Wiranto menolak untuk mengamankan keadaan dengan alasan jika dilakukan
pengamanan maka akan melanggar wewenang atau Inkonstitusional.
“Mendengar
jawaban itu, saya kecewa dan meninggalkan Wiranto dengan marah. Saya
bertanya-tanya siapa sebenarnya yang pegang kekuasaaan dan bertanggung jawab
atas kerusuhan ini,” katanya saat menghadiri Eksaminasi Publik Terhadap
Keputusan DKP di Hotel Intercontinental Jakarta, Senin (23/6/2014).
Disebabkan
tidak adanya keberanian Wiranto untuk mengamankan kondisi saat itu, kata
Hariadi, demo semakin ricuh. Penjarahan dan perkosaan terjadi di mana-mana.
Bahkan,
katanya, Pasukan Pengamanan Masyarakat alias Pamswakarsa semakin membuat ricuh
keadaan. Pamswakarsa merupakan bagian politik adu domba antara para jawara yang
diduga bayaran ABRI dengan mahasiswa. “Semua orang tahu bahwa Pamswakara
dilakukan oleh seorang petinggi negara,” katanya.
Dia
menambahkan, kondisi 1998 tidak lagi bisa dikendalikan. Hampir seluruh
pengamanan berjalan sendiri-sendiri tanpa komando. Dengan demikian, katanya,
Prabowo Subianto yang menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan
Darat berpangkat jenderal menunggu perintah atasan yakni Wiranto.
Tetapi,
katanya, lantaran tidak ada perintah dari atasan, komando berjalan
sendiri-sendiri. Dia menyesalkan tindakan Wiranto yang tidak kesatria meredam
kondisi saat itu. Sehingga nama Prabowo hingga saat ini menjadi bulan-bulanan
atas keurusuhan peristiwa 1998 yang menelan korban jiwa.
“Saya
sesalkan sekali bahwa kejadian itu dipersalahkan pada satu atau dua orang.
Bagaimanapun juga dalam hierarki militer, yang bertanggung jawab itu pemimpin
tertinggi. Tetapi dalam DKP hanya menyalahkan kepada Prabowo. Itu bukan
tindakan kesataria,” katanya.
Hariadi
menuturkan di saat kondisi seperti saat ini, Pilpres 2014 menjadi ajang untuk
melakukan kampanye hitam. Dia meminta agar tidak menjadikan Prabowo sebagai
kambing hitam atas kerusuhan 1998.
“Silahkan
Anda berkampanye tapi jangan melakukan fitnah dengan cara tidak benar. Saya
harapkan kejadian ini selesai sampai di sini saja. Kampanyelah dengan jujur,”
paparnya.
Orang Mau culik
habieb
Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Dalam
Negeri Tjahjo Kumolo membeberkan rahasia keberhasilan dirinya terpilih sebagai
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selama hampir 30 tahun berturut-turut.
Menurut Tjahjo, peran pejabat di level desa dan kecamatan sangat
penting untuk mendulang suara masyarakat. Selama mengikuti pemilihan umum, dia
mengaku mengandalkan bintara pembina desa (babinsa), kepala desa, kepala kepolisian
sektor (kapolsek), dan komandan komando rayon militer.
BACA
JUGA :
“Saya pegang babinsa, danramil, kapolsek. Untuk daerah padat saya
pegang kepala desa. Jadi [terpilih] terus saya 30 tahun anggota DPR,” katanya
kepada anggota Komisi II DPR di Jakarta, Kamis (24/5/2018).
Tjahjo pertama kali pertama masuk Senayan pada 1987 dari Golongan
Karya. Keberhasilan itu terus berlanjut ketika dia bergabung ke Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Pada 2014, Tjahjo berpindah ke lembaga
eksekutif setelah ditunjuk sebagai Mendagri.
Tjahjo meyakini sampai saat ini pejabat yang dipilih lewat pemilu
seperti wali kota, bupati, anggota DPR menggunakan strategi yang sama. Khusus
kepala desa, alumni Universitas Diponegoro ini mengatakan peran mereka bahkan
menentukan berhasil-tidaknya program presiden.
“Pembangunan presiden zaman kapanpun terhambat masalah pembebasan
tanah, pengukuran tanah. Ini yang menentukan kepala desa,” ujarnya.
Pemerintah, kata Tjahjo, mengharapkan kepala desa dapat menjadi
penggerak pembanguan desa seiring dengan bergulirnya program Dana Desa. Untuk
itu, Kemendagri memiliki program peningkatan kualitas aparatur desa sehingga
mereka bisa membuat peraturan desa hingga menyusun perencanaan anggaran.
Menurut Tjahjo kepala desa masih mengeluhkan penyusunan surat
pertanggungjawaban (SPJ) penggunaan anggaran. Guna mengatasi masalah tersebut,
pemerintah bertekad mempermudah pembuatan SPJ.
“Kalau perlu satu lembar sajalah. Nanti kalau semakin tebal
semakin banyak masuk penjara. Kepala desanya lembur buat SPJ, bukan kerjaan,”
tuturnya.
Ketika Pak Wiranto dan Pak Hary
Tanoe maju menjadi Capres dan Cawapres hampir TIDAK terdengar isu-isu, terutama
isu bernuansa SARA yang disebarkan untuk menjegal keduanya. Tapi jauh berbeda
ketika Bung Joko dan Koh Ahok maju sebagai Cagub dan Cawagub, isu-isu bernuansa
SARA disebar dengan begitu gencarnya untuk menjegal langkah keduanya .
Padahal jika dilihat secara
adil, kedua pasangan itu, diantara kedua pasangan memiliki komposisi yang sama.
Pak Wiranto dan Bung Joko berasal dari etnis Jawa dan sama-sama beragama Islam,
dan Pak Hary Tanoe dan Koh Ahok berasal dari etnis Tionghoa dan sama-sama
beragama Kristen.
Dan jika ditinjau secara skala
kepemimpinan, jelas Pak Wiranto dan Pak Hary Tanoe memiliki skala kepemimpinan
yang jauh lebih luas, karena keduanya maju sebagai Capres dan Cawapres. Menurut
logikaku, isu-isu bernuansa SARA tentunya akan lebih deras menerpa pasangan
Capres dan Cawapres ini, tapi pada kenyataannya TIDAK. Isu SARA malah
disebarkan pada level Cagub dan Cawagub.
Mengapa diperlakukan beda?
Menurutku, karena Bung Joko dan Koh Ahok adalah "orang gila" yang
berani bergerak melawan arus deras. Masyarakat mengetahui betul keberanian
kedua orang ini. Saat menjadi Walikota Solo dengan tegas Bung Joko menolak
perintah atasannya (Gubernur JATENG) untuk memberikan izin pendirian gedung di
kota solo dan rela disebut walikota "bodoh" demi mempertahankan
keputusannya.
Begitu pula dengan Koh Ahok,
ketika menjadi anggita DPR, beliau berani membuka kegiatan dan keuangannya pada
publik, dan berani "buka-bukaan" masalah keuangan DPR yang banyak
dihambur-hamburkan untuk urusan yang tidak penting. Beliau tidak takut dengan
ketua DPR dan rela dimusuhi rekan-rekannya sesama anggota DPR karena membuka
rahasia penggunaan keuangan DPR.
Kedua orang ini keras kepala
(koppig). Berani mempertahankan keputusannya yang pro rakyat dihadapan
siapapun. Bung Joko tetap keras kepala mempertahankan keputusannya untuk tidak
melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri meskipun harus terima "makian"
dari Ibu Megawati yang mengantarkan Bung Joko ke kursi Presiden. Dan ini
membuktikan bahwa Bung Joko bukanlah petugas partai.
Begitu pula dengan Koh Ahok,
keras kepala pada keputusannya meskipun harus berhadapan dengan puluhan anggota
DPRD dari seluruh partai. Tidak ada kompromi dan tetap keras kepala pada
keputusannya untuk tetap melaporkan penyelewengan keuangan yang dilakukan oleh
anggota DPRD pada KPK. Dsn jangan lupa, Koh Ahok juga berani menentang
kebijakan Pak Prabowo ketika Gerindra mengusulkan Pilkada melalui DPRD. Padahal
Pak Prabowo yang mengantarkan Koh Ahok pada kursi Wakil Gubernur.
Kedua orang ini adalah orang
yang berprinsip kuat bahwa siapapun yang korup atau terindikasi korupsi, tidak
boleh menjadi pejabat. Dan keduanya anti kebijakan yang merugikan rakyat. Demi
membela prinsip ini keduanya berani berhadapan dengan siapapun. Dan sudah
terbukti, Bung Joko berani menentang perintah Gubernur JATENG dan Ibu Megawati
dan Koh Ahok berani menentang DPRD dan Pak Prabowo.
Dan saat ini,
"kegilaan", keberanian, keras kepala dan prinsip kuat dalam membela
kepentingan rakyat semakin menjadi-jadi. Dan dari sebelumnya ini sudah diprediksi
oleh "musuh-musuh" keduanya, itulah mengapa isu-isu SARA mereka sebar
dengan begitu gencarnya. Siapakah musuh keduanya? Para Mafia dan Koruptor !
"Jangankan dunia, kita
saja kaget dengan keberanian Jokowi" (Tantowi Yahya).
"Ahok itu urat takutnya
sudah putus" (Buya Syafi'i Ma'arif)
Kapanlagi
Plus -
Senin (20/10) pagi kemarin, Indonesia resmi memiliki Presiden baru. Joko
Widodo, pria kelahiran Surakarta itu akhirnya resmi menggantikan
posisi Susilo Bambang Yudhoyono. Bertempat di Gedung MPR
RI, Jokowi dan pasangannya, Jusuf Kalla,
mengucap janji dan sumpah jabatan sebagai Presiden sekaligus Wakil Presiden
Republik Indonesia.
Dianggap sebagai tokoh harapan bangsa, suami
dari Iriana itu
akhirnya mewujudkan impiannya sebagai pemimpin Indonesia. Ketika Jokowi terpilih,
publik pun tak bisa melepaskan rasa penasaran dari sosok keluarganya. Tentu
kalau soal Jokowi kamu sudah sangat tahu. Begitu pula dengan
sosok sang istri, Iriana. Resmi menjadi suami istri pada 24
Desember 1986, Jokowi dan Iriana dikaruniai
tiga orang putra. Nah, sekarang kenalan dengan ketiga anaknya yuk.
1. Gibran Rakabuming Raka
Gibran Rakabuming Raka foto: istimewa
Dia adalah anak sulung dari Jokowi. Gibran lahir pada 1 Oktober 1987 di masa Jokowi memulai usaha sendiri mendirikan pabrik kayu di Solo. Masuk SMP, Gibran memilih sekolah SMP dan SMA di Singapura dan lanjut kuliah di Universitas Teknologi Insearch, Sydney - Australia. Lulus kuliah, Gibran kembali ke Solo dan memulai usaha catering bernama Chilli Pari. Empat tahun berjalan, Gibran kini sukses sebagai pengusaha catering dengan omzet ratusan juta rupiah tanpa bantuan sang ayah.
Nama Gibran Rakabuming Raka seolah
melambangkan doa dari kedua orangtuanya. Gibran bisa diartikan
sebagai pria yang pandai, simple dan apa adanya. Lalu Raka bisa
berarti keteguhan dan kebijaksanaan sementara Bumi adalah tanah. Jadi bisa
dibilang Gibran Rakabuming Raka adalah pria yang pandai, teguh
dan bijaksana tetapi tetap apa adanya dan membumi (tidak sombong). Terbukti
kendati dia seorang pengusaha muda yang sukses, Gibran masih
tetap sederhana dan memilih tidak ingin disorot atau membanggakan punya ayah
Presiden.
2. Kahiyang Ayu
Kahiyang Ayu foto: Instagram Kahiyang Ayu
Kahiyang Ayu adalah putri satu-satunya Jokowi. Terlahir pada tahun 1991, wanita yang sering dipanggil mbak Ayang ini adalah lulusan teknologi pangan dari Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS). Dari segi fisik, Ayang memang paling mewarisi kecantikan sang ibu. Ayang memiliki tubuh yang sedikit bongsor tetapi wajah yang imut dan pipi yang chubby. Perangai sederhana masih tetap bisa kamu lihat dari wanita berusia 23 tahun ini.
Ditilik dari arti namanya, Kahiyang
Ayu memang mempunyai nama yang sangat Jawa. Di mana Ayang bisa
berarti sayang atau yang tersayang dan Ayu semua orang juga
sudah tahu itu bermakna cantik. Jadi, Kahiyang Ayu adalah
wanita tersayang yang cantik. Tentu saja dia menjadi sosok kesayangan Jokowi
dan Iriana serta kedua saudara laki-lakinya yang akan selalu
menjaga Ayang sampai dia menemukan sosok pria istimewa kelak.
Kaesang Pangarep foto: Instagram Kaesang
Pangarep
Kaesang adalah si bungsu putra Presiden Jokowi dan ibu Iriana. Pemuda berkacamata ini bisa dibilang yang paling berbeda dibandingkan kakak-kakaknya. Kaesang memang masih muda. Lelaki yang berkuliah di Singapura ini baru akan berusia 20 tahun pada 25 Desember nanti. Bisa dibilang, Kaesang adalah putra Presiden yang paling kocak dan konyol. Belum lagi kegemarannya melatih otot di pusat kebugaran membuat Kaesang memiliki tubuh kekar meresahkan berbeda jauh dengan sang ayah Jokowi atau kakaknya, Gibran.
Dalam bahasa Vietnam, nama Sang bisa
berarti bangsawan laki-laki. Namun jika dilihat dari keturunannya di mana Jokowi berdarah
Jawa, maka nama Kaesang Pangarep besar kemungkinan berarti
sosok yang diarep-arep (dinanti-nanti). Kae = itu, Sang = yang, Pangarep =
Diarep-arep. Jadi kalau digabungkan bisa saja Kaesang Pangarep adalah
bangsawan laki-laki yang dinantikan. Hmm, memang sih dengan usia yang masih
muda, bersifat kocak dan ramah membuat banyak gadis yang menanti dan jatuh hati
pada Kaesang. Kamu juga?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar