TAJUK,E-Korupsi KTP
Orang yang bernafsu korupsi memang sudah lupa daratan, tidak peduli gerak-geriknya sudah diendus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), selagi masih ada celah dan kesempatan diambil juga. Ini membuat hampir semua proyek negara yang anggarannya besar dan menggiurkan pasti ditemukan unsur korupsi. Tidak hanya proyek besar, proyek kelas menengah hingga kelas ”recehan” pun dikorup juga. Intinya, sudah tidak ada tempat yang steril lagi dari tangantangan jahat para koruptor di negara ini. Secara teori, korupsi bisa terjadi karena tiga hal.
Pertama karena sistemnya yang lemah, kedua karena kesempatan, dan yang paling sulit diatasi karena keserakahan. Rupanya yang ketiga inilah yang dianggap banyak orang sebagai biang dari penyakit kronis ini. Keserakahan memang melekat dalam setiap jiwa manusia seperti halnya kesederhanaan maupun kesahajaan. Namun di zaman yang ukurannya serbamateri seperti saat ini, keserakahan semakin dominan sebagai jalan cepat untuk menumpuk kekayaan. Sehingga sifat kesederhanaan semakin tenggelam dan ditinggalkan.
Bahkan menjadi bahan tertawaan atau cemoohan. Pemimpin yang sederhana pun dianggap memiliki pamrih di baliknya, yaitu ingin mendapat simpati, dukungan, alias pencitraan saja. Sudah sangat jarang pemimpin sederhana yang benar-benar tulus untuk mengabdi kepada rakyatnya. Jika demikian, bagaimana cara membunuh penyakit korupsi ini? Aturan dan hukum sudah banyak. Penegak hukum di KPK juga sudah galak dan berani menyeret siapa saja—tak terkecuali pejabat penting yang sedang berkuasa. Penjara khusus koruptor pun sudah overload, tapi mengapa korupsi masih tumbuh subur.
Apakah hukuman penjara pada koruptor yang akhir-akhir ini naik drastis dari rata-rata 2-3 tahun menjadi 5-20 tahun belum memberikan efek jera? Pengusutan aliran uang hasil korupsi dengan UU TPPU pun sudah tidak menjadi hal yang menakutkan. Ekspose pemanggilan pihak-pihak yang diduga menerima aliran dana dari tersangka koruptor pun dianggap sebagai tindakan sesaat yang justru mendongkrak popularitas. Tersangka koruptor pun jika habis diperiksa atau pada saat tertangkap tetap mengumbar senyum sambil melambaikan tangan kepada para jurnalis yang menungguinya.
Apa yang disampaikan Mendagri Gamawan Fauzi bahwa kementeriannya telah memagari proyek e-KTP yang nilainya Rp6 triliun itu dengan mengundang KPK maupun BPKP, menjadi sia-sia ketika menghadapi pelaksanaan di lapangan. Di level para medioker ini komitmen antikorupsi yang disuguhkan oleh para pemimpinnya menjadi tidak berarti atau malah turut serta justru ikut menikmati hasil korupsinya. Kejahatan korupsi jarang yang dilakukan sendirian.
Uang haram ini pun tidak hanya dinikmati para koruptor, tapi ke orang-orang dekatnya, rekanan, atau bahkan orang lain untuk menghapus jejak. Nilai korupsi proyek e-KTP yang fantastis karena jumlahnya lebih dari Rp1 triliun diduga tidak hanya melibatkan pejabat eselon 2 maupun eselon 1 di kementerian dalam negeri. Tapi bisa saja ada aktor utamanya yang harus diusut tuntas oleh KPK. Kita berharap pemerintah baru memiliki cara yang tepat untuk mengawal setiap proyek-proyeknya agar tidak dikorupsi.
Apakah dengan membuka seluas-luasnya proses pengadaan proyek pemerintah dari awal hingga akhir kepada publik atau memberikan hukuman yang lebih berat lagi kepada para koruptor yang sudah ditangkap dan diadili untuk memberikan efek jera kepada koruptorkoruptor lain yang masih menunggu kesempatan menjalankan rencana jahatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar